Adsense

Rabu, 29 Februari 2012

MENIMBANG PELUANG PIZZA MURAH

Dua dasawarsa lalu, pizza masih jadi udapan kalangan berduit. Tapi kini, makanan sehari-hari orang Italia itu, sudah bukan lagi makanan elit. Ragam pizza seperti Meat Lover, Vista, American Favourite, Chicken Mushrom, Chicken Baberque, Beef Baberque, Beluxe, Subrime dan banyak lagi, makin mudah ditemukan di berbagai resto atau kedai.
Begitu pizza jadi makanan populis di sini, kedai-kedai pizza mulai menjamur di sudut-sudut kota. Dan kenyataannya, pembelinya memang tak pernah menyurut. Dengan laris manisnya makanan ini, tentu ini juga peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan.
Nah, bagi Anda yang tertarik memanfaatkan peluang tersebut tapi belum pengalaman, simaklah pengalaman Muhammad Fathoni membesarkan usaha pizza untuk kalangan konsumen kebanyakan itu.
Empat tahun silam, berbekal pengalaman kerja di restoran sejak 1990, Fathoni memulai usaha pizza gerobak di Sidoarjo, Jawa Timur. Nama usahanya Doremi Pizza. Meski cuma jualan di gerobak dorong, modalnya lumayan juga, mencapai Rp 30 juta. Sajian menunya saat itu pun masih sederhana. Cuma satu jenis pizza saja. Tapi ternyata laris manis.
Fathoni pun makin bersemangat. Ia kemudian menciptakan jenis-jenis pizza yang lain. Dan kini, setelah empat tahun berjalan, isi pizza racikan Fathoni sudah sepuluh macam. Rasanya, ujar Fathoni, juga sangat Indonesia. Tak hanya itu, empuknya roti pizza Fathoni bisa bertahan lebih lama. "Rasanya lain dari pizza kebanyakan," katanya, kepada KONTAN, Kamis (29/5).
Harga pizza Fathoni juga murah meriah. Separoh dari harga pizza kebanyakan. Untuk pizza ukuran kecil, dia membanderolnya seharga Rp 11.000, ukuran sedang Rp 18.000, dan ukuran besar cuma Rp 34.000.

Omset Rp 400.000
Saat ini, Fathoni sudah mempunyai lima outlet. Dia mengaku, omset per outletnya mencapai Rp 500.000 hingga Rp 1,2 juta per hari. Anda tergiur dengan omset itu? Kalau, ya, jalannya mudah. Karena Fathoni sudah menawarkan kemitraan sejak dua tahun lalu.
Fathoni menjanjikan keuntungan yang lumayan bagi calon mitra Doremi Pizza. Untuk calon mitra pun tak perlu khawatir, karena Fathoni mengaku sudah memiliki 15 outlet mitra. Yang terbanyak berada di Jawa Timur, sebanyak 13 outlet, di Jakarta satu outlet, dan Cibinong satu outlet.
Fathoni menawarkan dua tipe kemitraan. Pertama, kemitraan Doremi Pizza Gerobak. Modalnya cukup Rp 25 juta. "Dari kemitraan itu, mitra akan mendapat fasilitas lisensi lima tahun, gerobak, peralatan lengkap seperti kulkas, oven, gas, serta bahan produk awal berupa roti, seragam dan media promosi," kata pria 45 tahun itu.
Kedua, kemitraan Doremi Pizza Mini Cafe yang biasa ada di foodcourt. Untuk yang ini, modalnya Rp 50 juta. Mitra akan mendapat meja konter panjang, neon box, freezer, peralatan lengkap dan produk awal. "Untuk minicafe, menu tidak terbatas pada pizza. Ada tambahan steak, spaghety dan burger," imbuhnya melengkapi.
Dia menerapkan fee royalti 4 persen dari penjualan kotor per bulan. Mitra juga wajib ikut standar operasional prosedur yang ditetapkan, seperti audit keuangan per dua minggu. Fathoni menjamin mitra bisa balik modal dalam sembilan bulan. Sebagai gambaran, dia memperkirakan omset Doremi Pizza Gerobak Rp 400.000 per hari dan Mini Cafe Rp 800.000 hari.
Dasar perhitungannya, outlet-outlet yang sudah jalan saja omsetnya mencapai Rp 500.000 hingga Rp 1,2 juta per hari. Kalau Anda tidak yakin, sebaiknya cek pasar dulu.Sumber : KOMPAS.COM

Senin, 27 Februari 2012

MISTAR, DARI TKI MENJADI PENGUSAHA ROTI

Tahun 1998 Mistar adalah pemuda gamang yang baru lulus diploma tiga Jurusan Tata Niaga, Akademi Maritim Belawan, Sumatera Utara. Krisis ekonomi di dalam negeri membuat dia memutuskan bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja Indonesia atau TKI. Kini, Mistar dikenal sebagai pengusaha roti dengan 70 karyawan yang bergantung pada usahanya itu. Usaha roti berlabel Family milik Mistar terletak di Dusun V, Pasar I, Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat, Sumut. Rumah sekaligus pabrik rotinya itu dipenuhi dengan tumpukan kayu bakar dan berkarung-karung roti kering retur.
”Sebenarnya banyak mantan TKI yang berhasil. Beberapa teman saya dulu juga sudah membuka usaha sendiri dan maju,” tutur Mistar, bapak dua anak itu, merendah.
Selepas menyelesaikan program D-3, Mistar mengaku bingung mau bekerja apa dan di mana. Apalagi saat itu tahun 1998, Indonesia tengah dilanda krisis moneter dan banyak karyawan yang justru terkena pemutusan hubungan kerja, termasuk sang ayah, Muhammad Sari, dan pakciknya, Suryadi.
Mereka semula bekerja di sebuah pabrik roti di Tanjungpura. Toko roti itu tutup. Sang ayah lalu membuka kedai kebutuhan pokok di rumah mereka yang berbatasan dengan kebun kelapa sawit PTPN II Tanjung Beringin, sedangkan Suryadi bekerja mocok-mocok pada orang lain. ”Saya sempat mau bekerja di pabrik elektronik di Tanjung Morawa,” kata Mistar.
Namun, saat dia hendak mengikuti pelatihan ke Jakarta, tes kesehatannya tidak memenuhi syarat. Maka, Mistar pun kembali ke rumah. Tahun 1999, dia memutuskan mendaftarkan diri menjadi TKI ke Malaysia.
Motivasi kerjanya sejak awal memang tidak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih guna mengumpulkan modal untuk membuka usaha di kampungnya sendiri. ”Banyak anggota keluarga kami yang tidak punya pekerjaan. Saya juga tidak pernah berpikir untuk menjadi pegawai negeri sipil atau tentara,” kata Mistar.
Negeri Sembilan
Mistar kemudian diterima bekerja di pabrik tekstil di Negeri Sembilan, Malaysia. Ketika itu dia mendapat gaji pokok sebesar 430 ringgit per bulan. Namun, pada praktiknya dalam sebulan ia bisa menerima sampai 1.000 ringgit karena banyak kerja lembur.
Dia bercerita, banyak temannya sesama TKI yang menggunakan uang hasil kerja di Malaysia itu untuk membeli tanah atau membangun rumah. Namun, setelah kembali ke Tanah Air mereka justru tidak mempunyai pekerjaan. Kondisi seperti itu menambah motivasi Mistar untuk membuka usaha sendiri. ”Rencana saya itu cuma dua tahun bekerja di Malaysia, tetapi uangnya belum terkumpul cukup. Jadinya selama tiga tahun saya menjadi TKI di sana,” katanya.
Mistar mengenang, sekitar delapan bulan sebelum kembali ke kampung halaman pada 2002, dia mengirimkan uang Rp 20 juta kepada sang bapak. Uang itu digunakan oleh ayah dan pakciknya untuk modal membuka usaha roti yang kemudian diberi merek Family.
Pilihan usaha roti diputuskan karena pakciknya memang ahli dalam pembuatan roti. Sejak tahun 1970-an, Pakcik Suryadi bekerja pada seorang pengusaha roti keturunan Tionghoa.
”Dulu, kami ini memang keluarga kuli (pabrik) roti. Kebetulan juga saat itu bahan baku pembuatan roti bisa diutang pada toko bahan pokok di Tanjungpura. Minggu ini kami ambil bahan untuk roti, satu minggu kemudian baru dibayar,” ceritanya.
Mistar memilih nama Family untuk produk rotinya karena para pekerja dalam usaha ini adalah anggota keluarga besarnya. ”Mulai dari pakcik, bapak, sampai tiga adik saya, semuanya terlibat dalam usaha roti ini,” kata Mistar yang produk rotinya menyasar konsumen kelas menengah-bawah dengan harga eceran rata-rata Rp 500 per buah.
Pinjam bank syariah
Uang hasil kerja Mistar sebagai TKI di Malaysia relatif habis digunakan untuk membeli peralatan pembuatan roti dan membuat bangunan berdinding anyaman bambu berlantai semen di belakang rumah orangtuanya.
Di sini ada tungku besar dari bata dengan bahan bakar kayu. Ada pula mesin penggilas adonan dari besi yang ditempa sendiri. Ongkos pembuatan mesin penggilas adonan dengan bantuan bengkel las itu sekitar Rp 2,5 juta. Alat serupa ini bila dibeli di toko bisa sampai Rp 6 juta.
Mistar juga membangun ruangan penguapan kue. Ruang seluas sekitar 2 x 2 meter itu beratap rendah dan ditutup gorden. Uapnya berasal dari dua kompor yang terus mendidihkan panci berisi air. Uap air dari panci itu yang membuat suhu udara di kamar penguapan itu selalu hangat.
Pelan-pelan usaha roti Family terus berkembang. Mistar pun memberanikan diri menambah modal dengan meminjam dari bank.
”Namun, baru setelah usaha berjalan kami pinjam uang ke bank. Kami pinjam Rp 50 juta dari Bank Sumut Syariah,” cerita Mistar. Selain itu, dia juga punya pinjaman Rp 10 juta pada Lembaga Peningkatan dan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (LP2KM).
Karyawan bertambah
Waktu baru membuka usaha pada 2002, produksi roti Family membutuhkan lima hingga enam karung terigu setiap hari dengan jumlah karyawan di bagian produksi 10 orang. Kini, ia membutuhkan sedikitnya 15 karung terigu per hari dengan jumlah karyawan 70 orang.
Dari jumlah karyawan itu, 25 orang bekerja di bidang produksi dan 25 orang lainnya menjadi tenaga pemasaran yang membawa roti Family ke sejumlah warung di Langkat, Binjai, Serdang Bedagai, Deli Serdang, hingga Aceh Timur. Adapun 20 orang adalah pekerja lepas untuk pembungkusan roti.
Pekerja produksi digaji Rp 20.000-Rp 40.000 per hari, sedangkan tenaga pemasaran dibayar berdasar bagi hasil penjualan.
Mistar juga menampung pemasaran untuk tiga produsen roti kering di dusunnya. Salah satu di antara produsen roti kering milik Tina Melinda (32), sesama mantan TKI di Malaysia yang mempunyai 26 karyawan.
Untuk meningkatkan kualitas produk, setiap tiga bulan sekali petugas dari dinas kesehatan datang untuk mengecek kualitas pangan produksinya.
”Saya banyak dibantu BP3TKI (Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI) mengikuti pelatihan. Para mantan TKI juga sering bikin pertemuan di sini,” kata Mistar tentang mereka yang datang ke Desa Tanjung Beringin untuk studi banding, termasuk dari Bandung, Jawa Barat.
Meski telah tujuh tahun menjadi juragan roti, Mistar belum pernah melihat pabrik roti modern, apalagi punya jaringan dalam industri pangan nasional. Namun, setidaknya sebagai mantan TKI, dia bisa membuka peluang kerja bagi banyak orang di kampungnya.
Mistar berharap, siapa pun yang kelak menjadi presiden di negeri ini, perekonomian Indonesia bisa stabil. Ini penting baginya agar usaha roti yang menghidupi puluhan keluarga di desanya itu bisa terus berkembang.Sumber : KOMPAS.COM

Jumat, 24 Februari 2012

JANJI UNTUNG CEPAT DARI BURGER AYAM

Burger memang bukan makanan asli Indonesia. Tapi, menu ini belakangan sudah menjadi makanan yang jamak dinikmati. Pasalnya, mulut kita sudah akrab dengan burger yang dijajakan oleh restoran cepat saji asing sampai burger dari gerobak pinggir jalan.
Jangan heran pula jika masih banyak pengusaha yang menjajal hoki di ranah burger. Salah satunya adalah Basri Adhi. Pria kelahiran 1971 ini mulai berwirausaha di bidang kuliner sejak tahun 2006. Awalnya, ia bekerja sebagai manajer umum di surat kabar nasional. Karena ingin mandiri, ia menekuni bisnis makanan dengan mendirikan Bazz Burger.
Basri punya alasan kuat memilih menu burger. “Makanan ini sulit mati,” ujarnya. Ia merasa prospek usaha di burger bagus. Tapi, dari awal, ia sudah membidik target pasar khusus. “Saya mengambil sasaran kelas menengah ke bawah. Mereka ingin menikmati burger dengan harga murah,” katanya kepada Kontan, Senin  (16/6). Tak heran, Bazz Burger lebih banyak dijajakan dalam bentuk konter.
Basri membanderol harga burger dari Rp 5.000 hingga Rp 11.000. Ia mengatakan, 80 persen burgernya menjepit daging ayam sebagai isi. Sisanya adalah daging sapi atau beef. “Saya ingin membuat produk yang beda dari yang lain. Soalnya, yang lain banyak menggunakan daging sapi,” tambahnya. Basri mengawali usahanya dari Kota Hujan, Bogor.
Semula, Basri mengembangkan lima gerai. Dengan harga murah, sasaran yang dibidik Bazz Burger adalah sekolah. “Di sekolah pasarnya sudah tersedia, apalagi kini murid-murid pasti jajan di sekolah,” ujarnya. Setelah membuka kemitraan usaha pada pertengahan 2007 kini Basri telah memiliki empat gerai tambahan di luar kepemilikannya sendiri. Gerainya tersebar di Subang dan Cilegon masing-masing satu gerai, serta dua gerai di Bekasi. “Saya dan mitra memilih daerah luar Jakarta karena kami belum menemui jualan burger yang harganya terjangkau di sana,” katanya.

Dua paket kemitraan

Basri menjelaskan, untuk menjadi mitra Bazz Burger tak perlu memiliki modal besar. Dia membagi dalam dua sistem. Untuk sistem beli putus, mitra hanya perlu investasi sebesar Rp 5 juta. Dengan dana segitu, mitra bisa memakai merek Bazz Burger dengan tampilan (display), promosi, seragam, dan pelatihan karyawan.
Selain itu, mitra akan dikenai biaya tambahan Rp 1,5 juta untuk biaya bahan baku atau starter pack selama seminggu. Bahan bakunya berupa roti yang memiliki ukuran kecil dan besar, lengkap dengan daging ayam untuk isi burger.
Basri mewajibkan mitra membeli semua kebutuhan Bazz Burger dari pusat. Basri memiliki pabrik pengolahan bahan baku di Bogor. Roti kecil dan daging kecil dihargai Rp 800 per unit. Untuk burger ukuran besar, daging dan roti masing-masing dibanderol Rp 2.000 per unit.
Cara kemitraan kedua adalah sistem sewa pakai. Basri meminjamkan semua peralatan dan tampilan gerai sehingga mitra tinggal berjualan burger saja. “Tetapi kami menetapkan deposit Rp 3 juta sebagai jaminan,” kata Basri. Semua bahan dan tampilan usaha tetap dipasok Basri. Tapi, jika mitra ingin memutuskan kerja sama atau ingin beralih ke pola kerja sama beli putus, Basri akan mengembalikan uang deposito tersebut. Cuma, untuk mitra lama yang ingin mengambil paket beli putus mereka terikat kewajiban untuk menyetor dana dari awal.
Dari para mitranya, Basri memungut management fee sebesar 10 persen dari omzet yang diraih tiap bulan. Basri mengungkapkan, selama ini mitranya bisa meraih omzet penjualan hingga Rp 300.000 per hari. Untung bersih untuk mitra sekitar 30 persen dari omzet. “Perkiraan balik modalnya sekitar 3 bulan,” ungkap Basri.
Kewajiban Basri adalah membantu menyurvei kelayakan lokasi usaha bagi mitra yang tertarik bergabung. Selain itu, masalah promosi, desain konter di-settinumg cukup fleksibel. Sewaktu-waktu mitra ingin pindah lokasi atau ikut pameran, konter dengan mudah bisa dipindahkan.
Biasanya, mitra berbelanja bahan baku seminggu sekali. Semua persediaan bahan bisa disimpan di lemari pendingin. Tetapi untuk daerah yang jauh seperti Cilegon, mitra boleh memesan roti di luar produksi Bazz Burger. "Soalnya, masa bertahan roti hanya sebentar. Tidak mungkin kami antar seminggu sekali. Dagingnya bisa kita antar dua minggu sekali," tambahnya.Sumber : KOMPAS.COM

Selasa, 21 Februari 2012

ANDOPI KARTIKA BELIA, SANG "MR.BURGER"

Di tengah berbagai kesulitan ekonomi yang melanda masyarakat, menjalankan usaha kecil dan menengah (UKM) seolah terdengar lebih berat lagi. Namun, tidak bagi Andopi Kartika Belia, pemilik usaha waralaba Mr Burger (baca: Mister Burger). Saat semua orang sulit mencari modal dan usaha yang tepat, ia tetap optimis mengembangkan sayap bisnis UKM-nya.

Meski bukan konglomerat, ia juga berani memberikan paket bantuan usaha counter bagi 100 warga kurang mampu. Pria kelahiran Kintamani, Bali, 39 tahun lalu ini mengaku merasa harus memberi manfaat bagi orang lain, khususnya orang tidak mampu.

Sejak berita paket bantuan bagi orang miskin dimuat di Harian Warta Kota beberapa waktu lalu, saat ini sudah ada  500 orang yang mengantre untuk mendapat bantuan tersebut. ”Paket ini disalurkan secara bertahap, tidak bisa sekaligus. Tapi, sudah ada yang mulai berjualan di Depok dan Lebakbulus,” ujar Andopi seusai menjadi narasumber seminar UKM, di Jakarta Selatan, belum lama ini.

Walaupun perawakannya kurus kecil dengan rambut gondrong sebahu,  semangatnya tidak sekecil tubuhnya. Bisnis waralaba (franchise) Mr Burger yang dibangunnya semakin besar dan meluas. ”Kita harus mengubah habit (kebiasaan—Red) sok merek luar negeri, dan mulai mencintai produk dalam negeri. Jangan hanya bergaya makan di restoran atau kafe franchise Amerika,” ujarnya.

Pria yang akrab dipanggil Ando ini sejak kecil sudah tertarik usaha burger saat melihat pedagang burger keliling. Darah wirausaha diturunkan dari ibunya yang memiliki gerai batik dan kerajinan perak. Ando pun memulai bisnisnya pada tahun 1988. Awalnya burger hanya menjadi bisnis sampingan baginya.

Namun, ia menyadari bahwa burger bukan bisnis musiman melainkan makanan yang sudah merakyat. ”Peluang bisnis burger tidak ada titik jenuh. Ini makanan semua kelas dan praktis,” ujar pria yang selalu memakai batik ini.

Peluang bisnis burger baru benar-benar dikembangkan pada tahun 1995. Saat itu ia memakai nama Crispy Burger. Meski sempat mengalami pasang surut, perusahaannya sempat  memiliki 200 karyawan. Saat itu Ando juga membangun sejumlah gerai di beberapa stasiun kereta di Jakarta.

Ayah tiga putra ini banyak mengenyam pengalaman usaha burger. Di tengah menjalankan usaha burger, Ando membantu pemilik usaha waralaba Edam Burger. ”Pak Made yang punya Edam Burger itu kakak ipar saya. Saya lantas jadi konsultan dia yang tidak dibayar,” katanya.

Ando pun memiliki peran dalam mengembangkan usaha Edam Burger. Usaha Edam Burger di kawasan Jakarta Selatan pun dipegangnya kala itu.  Ia berprinsip bahwa kualitas makanan, kemasan, penampilan, dan pelayanan, menjadi faktor penting dalam usaha yang dijalankannya. Namun, ia mengalami konflik dan perbedaan prinsip dengan Made. Ando akhirnya memilih keluar dan memulai usaha sendiri.

Ekspansi

Sejak tahun 2005 Ando menggunakan bendera Mr Burger dengan sistem waralaba atau bagi hasil. Meski terkesan berbau luar negeri, Mr Burger asli buatan dalam negeri. ”Mr itu berarti makanan rakyat,” ujar lulusan Jurusan Manajemen, Universitas Trisakti, ini.

Roti, daging, dan saus untuk produk Mr Burger dibuat di pabrik sendiri. Dengan kualitas rasa yang juga mampu bersaing, Ando berharap di masa datang Mr Burger bisa bersaing dengan restoran ternama internasional seperti Burger King atau McDonald’s.

Pada tahun 2007, Mr Burger mendapat penghargaan retail burger terbaik di Indonesia dari Citra Award. Hingga saat ini terhitung sekitar 100 gerai Mr Burger di Jabodetabek aktif menjalankan usaha itu. Ando juga akan mengembangkan konsep restoran dan kafe Mr Burger sambil tetap memberdayakan UKM franchise ini.

Rencananya restoran akan dibangun di kawasan Bintaro (Jakarta Selatan), serta Kelapagading dan Pluit (Jakarta Utara). Dalam enam bulan ke depan, ia juga menargetkan berdirinya 500 gerai Mr Burger. Ando juga melakukan ekspansi ke luar daerah seperti ke Yogyakarta, Medan, dan dalam waktu dekat ke Pekanbaru (Riau).

Selain itu, pria yang hobi bermain futsal dan badminton ini akan melakukan pengembangan usaha juga dengan sistem waralaba UKM. Ia akan membuat produk Mr Tea (teh), Lemendo Crepes, Sweet Corn (jagung), dan Espo Eskado (es potong).

”Bukan berarti tidak fokus di burger, namun sebenarnya ada peluang-peluang lain yang tidak tertampung oleh pengusaha lain. Jadi nanti ada sebuah franchise corner yang lengkap,” tandas Ando. Ia mengajak seluruh masyarakat untuk bangkit dan membuktikan bahwa UKM juga bisa profesional.Sumber : KOMPAS.COM

Sabtu, 18 Februari 2012

DARI KORBAN PHK JADI PENGUSAHA

Ketika banyak pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) akhir-akhir ini, kegiatan Wulan Ayodya justru meningkat. UKMKU, lembaga pelatihan dan edukasi wirausaha yang dikembangkan Wulan, justru kebanjiran order sejak krisis global. Pengusaha menyadari, untuk mem-PHK karyawannya tidak cukup dengan memberi pesangon, tapi juga perlu membekali korban PHK itu dengan ketrampilan agar bisa survive dengan mengembangkan usaha mandiri.

”Saya nggak menyangka keadaannya akan seperti ini (banyak pihak membutuhkan jasanya —Red), karena UKMKU sudah  berdiri sejak sebelum krisis global. Tujuannya untuk membantu orang yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan melalui usaha rumahan. Jadi, awalnya bukan untuk melatih orang-orang yang akan di-PHK,” tutur Wulan Ayodya (35) ketika berbincang dengan Warta Kota, belum lama ini.

Dikatakan, dampak negatif krisis global saat ini tidak hanya dirasakan perusahaan kecil-menengah saja tapi juga usaha-usaha besar. Hal tersebut tampak dari perusahaan-perusahaan yang mengundangnya untuk memberikan pelatihan wirausaha.

”Bedanya perusahaan besar pesangonnya besar sehingga kita bisa lebih leluasa memberi materi pelatihannya. Sementara kalau perusahaan skala menengah dengan pesangon kecil, kita harus lebih sabar dalam menghadapi karyawan. Sebab, sejak awal mereka sudah nggak puas sehingga di dalam kelas pelatihan pun mereka kebanyakan marah-marah,” ujar Wulan.

Materi pelatihan yang diberikan meliputi jurus bagaimana mengatur keuangan setelah pensiun/PHK dan ketrampilan untuk membuka usaha mandiri. ”Saya ajarkan bagaimana memulai bisnis dengan risiko minim. Di sini saya mengarahkan peserta bagaimana caranya menjalankan bisnis dengan senang dan tidak takut-takut (rugi),” katanya.

Wulan yang sejak usia 12 tahun sudah berdagang getuk keliling kampung dengan sepeda ini mengaku, melatih korban PHK untuk menjadi wirausaha lebih seru karena banyak tantangan. Dia mempunyai pengalaman tak terlupakan saat dua hari melatih 75 orang karyawan pabrik yang akan di-PHK. Tantangannya, di satu pihak dia menghadapi karyawan yang sedang marah karena pesangonnya dianggap tidak memuaskan. Di sisi lain, dia mendapat ‘pesan sponsor’ dari pihak manajemen, bagaimana membuat karyawan mau meneken surat PHK dengan penuh senyum.

”Alhamdulillah meski awalnya berat, tapi setelah kita saling berbagi pengalaman, kegiatan pelatihan itu berakhir sukses,” katanya.

Jatuh bangun

Sebelum fokus dengan usaha pendidikan dengan mendirikan UKMKU tahun 2005 lalu, Wulan Ayodya boleh dibilang sebagai perempuan pengusaha muda yang sangat ambisius. Dia tidak puas dengan usaha yang ada sehingga terus mencoba bidang usaha baru, mulai dari makanan, dagang baju, pertamanan, SPBU, hingga pertambangan emas.

”Saya sudah sering jatuh bangun dalam bisnis. Kegagalan biasanya terjadi karena saya tidak fokus. Saya juga masuk ke bidang-bidang usaha yang tidak saya kuasai sehingga bisa dibohongi mitra bisnis. Itulah salah satu hikmah yang bisa saya petik dari berbagai kegagalan bisnis masa lalu,” ujar penulis empat buku tentang wirausaha ini.

Berkaca dari pengalaman pahit tersebut, Wulan mulai putar haluan dengan fokus pada bidang pendidikan. Dia bersyukur keinginan tersebut mendapat dukungan penuh dari suaminya, Tomy Achmad. Dengan fokus pada bidang yang dikuasainya, Wulan kini  bisa menikmati hidupnya bersama keluarga.

"Bisnis yang bikin pusing kepala sudah saya lepas atau saya jual. Sekarang tinggal usaha di bidang SPBU, kue kering, dan UKMKU. Semua sudah jalan dengan baik. Khusus UKMKU sebenarnya nggak bisa dibilang bisnis banget karena di dalamnya juga ada misi sosial, yakni membantu masyarakat membangun usaha mandiri,” kata Wulan yang berencana menulis 10 buku dan komik wirausaha pada tahun 2009.

Ada beberapa alasan Wulan mau fokus pada bidang pendidikan. Pertama, dia dulu pernah mempunyai cita-cita sebagai guru. Namun karena orangtuanya menganggap masa depan guru tidak cerah, akhirnya dia  menekuni bidang bisnis.

”Kedua, saya menjadi guru wirausaha karena pekerjaan saya dari dulu adalah pengusaha. Jadi, hanya bidang wirausaha yang saya kuasai dengan baik. Saya mulai dagang sejak umur 12 tahun. Mulai usaha dengan modal dengkul. Dan, dalam mengajar saya lebih suka praktik daripada teori. Prinsip-prinsip itulah yang saya tuangkan dalam pengembangan UKMKU,” tutur Wulan bersemangat.

Namun UKMKU tidak langsung besar seperti sekarang. Pada tahap awal, ketika lokasinya masih di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, kegiatan pelatihan dan edukasi wirausaha ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Akhirnya Wulan memindahkan lokasi kursus ke rumahnya sendiri di Cirendeu. Kebetulan dia punya lahan yang luas.

”Saya bersyukur di sini peminatnya banyak sekali, terutama ibu-ibu rumah tangga. Mereka datang ke sini benar-benar untuk belajar, ingin memiliki ketrampilan agar bisa buka usaha sendiri di rumahnya masing-masing,” katanya.

Ditambahkannya, pelatihan masak yang digelar UKMKU semua resepnya bisa dijual, di samping rasanya enak. Dengan begitu, peserta kursus bisa langsung praktik usaha di rumahnya. Saat ini resep yang diajarkan sudah puluhan jumlahnya, mulai mi ayam, roti goreng, hingga brownies kukus, dan bagaimana membuat blog untuk keperluan promosi.

Biaya kursusnya juga relatif murah, hanya Rp 100.000 sampai Rp 150.000 per item kursus. Kursus digelar setiap hari Sabtu dan Minggu. Di luar itu, Wulan juga menggelar pelatihan di perusahaan-perusahaan.

”Di sini peserta kursus diajari memakai alat seadanya di rumah. Jadi, benar-benar dengan modal dengkul sudah bisa usaha. Bikin roti goreng, misalnya, modalnya cukup Rp 100.000. Mau usaha juga nggak perlu punya toko dulu. Bisa titip di warung. Beberapa orang sudah sukses dengan model seperti ini. Usahanya  berkembang baik,” ujarnya.

Menurut Wulan, melihat minat masyarakat yang makin besar, apalagi pada masa krisis global seperti saat ini, dia berencana akan membesarkan UKMKU. Ruang kursus yang saat ini baru dua ruangan akan ditambah dan diperbesar.

Terkait dengan masalah tersebut, dia mengajak perusahaan-perusahaan besar untuk menyalurkan bantuannya ke UKMKU, atau menjadi sponsor kegiatan UKMKU. ”Dengan memanfaatkan dana CSR dari perusahaan besar, saya berharap nantinya fasilitas di UKMKU akan makin baik. Selain itu, biaya kursusnya bisa digratiskan,” kata Wulan mengenai rencananya di masa mendatang.Sumber : KOMPAS.COM

Rabu, 15 Februari 2012

BOLU MERANTI YANG SELALU DICARI

Hari-hari ini ada toko paling ramai di sebuah jalan sempit; di Jalan Kruing, Medan, Sumatera Utara. Keramaian itu terletak di Nomor 2-K, sebuah bangunan rumah toko yang berimpit dengan bangunan lain.
Pencinta kuliner menjadikan tempat ini sebagai tujuan mencari oleh-oleh dari Medan. Jejaknya tertera dalam wall of fame yang terpasang di ruang utama.
Orang mengenal tempat itu sebagai Toko Bolu Meranti. Nama meranti berasal dari nama Jalan Meranti di Medan. Dari tempat inilah Ai Ling, perempuan keturunan Hokkian, menemukan hokinya.
Dia merintis usaha ini sejak 1990-an. Sebelumnya, roti buatannya hanya terbatas untuk konsumsi acara arisan. Itu pun dititipkan kepada saudaranya yang memiliki usaha katering. ”Semakin banyak pesanan datang. Mama memutuskan membuka toko sendiri di rumah,” kata Kusno, putra ketiga Ai Ling.
Kecil namun pasti. Usaha Ai Ling makin berkembang. Pada 2004, toko berpindah ke Jalan Kruing karena toko di Jalan Meranti tidak lagi mampu menampung pembeli. Ai Ling memindahkan usahanya ke Jalan Kruing tanpa melepas merek Meranti karena tuahnya terus mengalir hingga hari ini.
Permintaan Lebaran
Sebelum dan sesudah Lebaran, permintaan bolu meranti semakin meningkat.
Menurut Kusno, permintaan melonjak sampai 20 persen dari hari-hari biasa. Mau tidak mau, karyawan dan bahan baku pun harus ditambah.
Penikmat roti bisa membeli bolu meranti mulai Rp 40.000 hingga Rp 70.000 per potong (panjang 30 cm). Ada delapan rasa tersedia: cokelat, pandan, keju, moka, nanas, kacang, abon, dan blueberry. Pembeli bisa memilih bolu gulung dan bolu bundar dengan lubang di tengah. Selain menyediakan bolu, juga ada roti lapis legit Rp 300.000 dan brownies Rp 40.000 per potong.
Salah satu penikmat roti bolu, Kiki Tobing (20), mengaku jatuh hati dengan bolu meranti lantaran rasanya yang khas. Ia mengetahui bolu meranti dari cerita-cerita temannya. Kini ia dan keluarganya sering membeli bolu meranti.
”Rasanya itu pas, tidak berlebihan. Rotinya juga lembut,” ujarnya Kiki yang datang membeli untuk tantenya yang hendak pulang ke Jakarta.
Selain bolu, Medan juga kaya dengan oleh-oleh lain, misalnya bika ambon dan durian. Siapa saja yang bepergian ke Medan bisa memilih salah satu atau semua jenis oleh-oleh ini untuk keluarga, teman, dan rekan kerja. Tidak heran 80 persen paket jasa pengiriman dari Medan selama Lebaran kali ini paling banyak berupa makanan oleh-oleh.

Minggu, 12 Februari 2012

Potensi Bisnis Roti Besar, Kreativitas Minim

Di tengah semakin ketatnya persaingan di bisnis roti, dibutuhkan kreativitas para pelaku bisnis untuk merebut pasar, yakni mulai dari cara menyajikan produk, keunikan produk, hingga tampilan etalase.
Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus Welirang dalam seminar ”Peran Desain Interior dalam Usaha Bakery” di Jakarta, Rabu (18/3).
Menurut Franciscus, kreativitas pelaku bisnis roti saat ini masih terkesan sangat terbatas. ”Banyak pengusaha yang asal-asalan memproduksi dan mengabaikan desain interior untuk menarik minat pembeli,” tuturnya. Padahal, lanjut Fransciscus, pasar bisnis roti terus berkembang. Ini setidaknya tampak dari konsumsi terigu sebagai bahan baku utama roti.
Tren konsumsi terigu di Indonesia pada tahun 2000 hanya 13,7 kilogram per kapita, tetapi pada tahun 2007 mencapai 17,1 kilogram per kapita.
Pelaku usaha roti, lanjut Franciscus, seharusnya menangkap potensi pasar yang cukup besar tersebut dengan selalu membuat inovasi yang kreatif.
Kreativitas itu yang dikembangkan restoran cepat saji ala Amerika, antara lain dengan rendang sebagai makanan khas Indonesia. ”Ada juga pengusaha bakery yang menggunakan parfum roti,” katanya.
Dengan demikian, bukan hanya indera penglihatan yang dirangsang dengan bentuk roti, tetapi juga indera penciuman, ”Yaitu disentuh dengan menggunakan parfum roti,” ujar Franciscus.
Menurut Ketua Bidang Luar Negeri Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII) Francis Surjaseputra, sentuhan desain interior berperan penting dalam bisnis roti. Selain itu, kualitas produk, lokasi, harga produk, dan pelayanan terhadap konsumen.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Pengusaha Bakery Indonesia (Apebi) Chris Hardijaya. Dijelaskan, perkembangan usaha roti saat ini telah memasuki era gaya hidup. ”Usaha bakery yang tidak mampu menyesuaikan diri dipastikan akan mengalami stagnasi,” katanya.
Rasa dan tekstur
Selain kreativitas dalam penyajian, Franciscus mengingatkan pelaku usaha roti agar juga memerhatikan kualitas produknya. ”Dampak dari peredaran tepung terigu oplosan yang marak beredar di Tangerang berpotensi membuat kualitas hasil produksi berubah,” katanya.
Rasa dan tekstur yang berubah akan mengecewakan konsumen. ”Kegagalan produksi berdampak pada modal kerja yang terbuang sia-sia,” tutur Franciscus. Sumber : KOMPAS.COM

Kamis, 09 Februari 2012

"Lapasta", Roti Nikmat Buatan Narapidana

Gelaran lokakarya dan pameran 'Optimalisasi Lahan dan Warga Binaan dari Aspek Usaha' yang diselenggarakan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM diikuti oleh berbagai rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan se-Jabodetabek.
Dalam gelaran yang berlangsung sepanjang hari ini, Rabu (19/5/2010), di Graha Pengayoman, Gedung Kementerian Hukum dan HAM, dipamerkan berbagai produk kerajinan dan karya para warga binaan selama menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan. Ada 14 Lembaga Pemasyarakatan da Rutan se-Jabodetabek yang berpartisipasi dalam pameran ini.
Berbagai produk kerajinan dan bermanfaat dipamerkan karya para narapidana dipamerkan kepada para pengunjung. Mulai dari miniatur perahu layar dan miniatur sepeda yang dirakit apik berbahan dasar kertas, bunga plastik menyerupai asli yang dirangkai dengan hanya keahlian tangan para warga binaan, hingga patung-patung dan aneka hiasan yang dipahat dan dipoles menjadi terlihat cantik.
Dari antara berbagai benda kerajinan tersebut, juga terlihat dipamerkan aneka panganan olahan roti. Mulai dari roti isi, roti tawar, hingga roti buaya, terjejer apik di stan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Inilah "Lapasta", aneka roti buatan para narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang.
Nama "Lapasta" sebagai produk roti pun berasal dari singkatan Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. "Memang roti-roti ini adalah murni buatan para warga binaan kami selama di dalam tahanan," kata Kepala Seksi Bimbingan Kerja Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang Heri Purnomo kepada Kompas.com.
Berbagai roti buatan narapidana ini tampak tidak ada bedanya dengan roti-roti buatan pabrikan dan merk-merk ternama lainnya. Bentuknya dan aroma khas roti membuat pengunjung pameran tergiur mencoba roti-roti ini. "Wuah ini enak, Mas. Sama kayak roti bakeri di toko-toko elit," kata seorang pengunjung saat mencicipi roti isi cokelat yang dipamerkan.
Heri mengatakan, roti Lapasta merupakan salah satu unit kerja yang paling produktif pada berbagai Lembaga Pemasyarakatan se-Jabodetabek. Sebanyak enam orang warga binaan di Lapas Kelas I Tangerang setiap harinya bekerja memproduksi roti memenuhi permintaan konsumen yang cukup tinggi.
"Setiap harinya kami produksi 200 roti. Itu kami sudah cukup kewalahan karena keterbatasan alat dan pekerjanya sampai saat ini masih enam orang," kata Heri.
Ia menuturkan, belum ada unit kerja pemberdayaan di Lembaga Pemasyarakatan yang memiliki konsistensi produksi seperti roti Lapasta. Awalnya, kata Heri, produksi roti Lapasta ini berawal dari ide Paimin Landung, salah seorang terpidana kasus korupsi di Lapas Kelas I Tangerang. "Dia kebetulan memang punya skill membuat roti. Keluarganya juga punya usaha seperti ini. Ya sudah, kenapa tidak dikembangkan saja di sini sekalian," katanya.
Hal ini pun berlanjut, pihak Lapas kemudian memberikan modal dan bimbingan kepada Paimin dan beberapa narapidana lain yang ingin mengembangkan usaha tersebut. Dari modal awal sebesar Rp 6 juta, kata Heri, kemudian dibelikan berbagai alat produksi roti seperti oven dan alat pencetakan lainnya.
Dengan berbagai proses pembinaan seiring berjalannya waktu, unit kerja roti ini semaki berkembang. Tak hanya untuk memenuhi kebutuah internal di Lapas Kelas I Tangerang, roti Lapasta juga didistribusikan memenuhi kebutuhan roti di Lembaga Pemasyarakatan lainnya di Jabodetabek. "Sedikit-sedikit, kami juga mengembangkan supaya roti ini bisa dijual umum. Kami titipkan ke toko-toko dan koperasi. Nantinya, kami berharap juga bisa dijual keliling seperti roti umum," ungkap Heri.
Setiap hari, tak kurang dari 200 roti pasti habis terjual. Aneka roti ini dijual dengan harga yang relatif murah dibandingkan roti-roti sejenis di pasaran. "Hanya Rp 2000 untuk roti isi. Kalau untuk kalangan narapidana kami jual Rp 1000," ungkapnya.
Kian hari, permintaan kebutuhan roti Lapasta terus meningkat. Selain rasanya yang nikmat dan gurih, harga roti Lapasta tergolong ringan di kantong. Heri mengatakan, dengan tingginya permintaan konsumen, pihaknya berencana memperbesar skala usaha roti Lapasta menjadi lebih besar lagi. Hal ini, kata dia, terkait program pemberdayaan dan optimalisasi warga binaan yang gencar digerakkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Mengenai usaha ini, Heri mengatakan, menunjukkan bahwa ada prospek bagus bagi dibukanya unit usaha kecil dan menengah yang digerakkan oleh para narapidana. Mengenai sistem pengelolaan keuntungan penjualan roti Lapasta, kata Heri, diatur oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan. "Tapi kami juga memberikan apa yang menjadi hak mereka. Para pekerjanya mendapat upah Rp 10 ribu perharinya untuk kemudian bisa ditabung sebagai modal usaha kelak," imbuh Heri.
Roti Lapasta ini pun sempat menarik perhatian Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Saat melihat-lihat aneka produk kerajinan, ia sempat menghentikan langkahnya di stan roti Lapasta. "Wah ini ternyata ada juga produksi roti. Bagus, teruskan ya," kata pak menteri. Sumber : KOMPAS.COM

Senin, 06 Februari 2012

Mengintip Warung Roti Bakar Beromzet Ratusan Juta

Bisnis roti bakar memang sudah biasa. Namun, belum tentu bisa bertahan lama. Madtari merupakan salah satu warung roti bakar yang cukup tua. Sejak 1999 hingga kini, Madtari masih memiliki pelanggan setia di Dago. Meski cuma warung roti bakar, Madtari bisa mencetak omzet ratusan juta.
Roti Bakar Edi boleh saja menjadi pilihan anak muda Jakarta menyantap roti di malam hari. Tapi di Bandung, Madtari bisa dibilang menjadi pilihan pertama untuk melahap roti bakar.
Madtari mengklaim sebagai roti bakar satu-satunya di Kota Kembang yang menggunakan selai blueberry. Menu roti spesial dengan campuran selai blueberry, kacang, dan taburan meses coklat membuat rasa roti bakar terasa asam manis.
Tidak hanya itu, rasa gurih dan asinnya didapat dari taburan keju yang menutup seluruh tumpukan roti. Pilihan lain adalah rasa roti keju susu dengan pelbagai macam pilihan rasa, seperti susu, coklat, kacang, dan roti rasa asin. Roti bakar rasa asin, yakni, roti dengan serutan keju pada tumpukan roti yang telah dibakar dengan taburan garam.
Makin larut malam, makin ramai pula pengunjung roti bakar Madtari di Jalan Dr. Oten 11, Dago. Salah satu kelebihan nongkrong di Madtari, selain santapan roti bakarnya, parkir dan tempatnya yang luas. Tidak perlu takut kehabisan tempat. Tak hanya memanfaatkan garasi gedung kuno berarsitektur gaya Belanda, setiap ruangan atau kamar telah disulap dengan kursi-kursi panjang berikut dengan meja. Tapi, dekorasi Madtari memang terbilang minim, tidak ada yang istimewa di warung roti bakar yang telah berdiri sejak tahun 1999 ini.
Menurut Manajer Madtari David Maidy, konsep layaknya warung kopi tetap dipertahankan. "Konsep seperti inilah yang membuat para pengunjung betah," kata David. Ia menambahkan, Madtari yang telah tiga kali berpindah tempat sudah terkenal sebagai roti bakar rakyat di Bandung.
Maksud roti yang merakyat: harga murah dan tempat yang apa adanya di pinggir jalan. Tengok saja, harga aneka roti mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 13.000 untuk menu spesialnya. Bosan dengan santapan roti, pisang bakar bisa jadi pilihan.
Pisang dibakar kemudian dilumuri selai sesuai selera dan tentu saja sebagai ciri khas dari Madtari, yaitu taburan kejunya. Harga pisang mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per porsi. Jika malam telah tiba dan udara kian dingin, santapan yang lebih hangat kerap menjadi pilihan.
Misalnya saja, mi instan dengan telur plus minuman yang dapat menghangatkan tenggorokan. Wedang jahe kencod boleh jadi pilihan karena sudah pasti, selain dapat menghangatkan tubuh, juga mampu mengusir pusing. Harganya sudah pasti aman di kantong, mulai Rp 5.000 sampai Rp 11.000.
Menyasar konsumen kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai pelanggan, Madtari sukses meraup untung yang cukup wah. Setiap hari, Madtari menghabiskan 500 kg pisang dan 200 tangkup roti.
Di bulan biasa, omzet Madtari mencapai Rp 150 juta per bulan. Ketika musim libur, Madtari mampu mencapai omzet Rp 200 juta. Pendapatan yang besar ini didukung dengan pelayanan prima selama 24 jam.
"Meski makin banyak roti bakar di Bandung tapi Madtari tetap menjadi pilihan karena kami melayani dengan sungguh-sungguh." tutur David yang setahun belakangan ini mengaku, bisnis roti bakar kepunyaan pamannya ini kian pesat setelah berpindah tempat.
Dua cabang Madtari lainnya berlokasi di Dago, tepatnya Jalan Teuku Umar dan Jalan Suci. David bilang, tahun ini, Madtari hendak ekspansi ke Tasikmalaya. sumber : kompas

Jumat, 03 Februari 2012

SEJARAH HAMBURGER DAN PENEMUNYA

makanan hamburger atau yang biasa dikenal dengan sebutan burger sudah tidak asing lagi ditelinga kita, makanan bukan asli indonesia ini cukup dikenal oleh orang indonesia, meskipun tidak semua orang indonesia pernah memakannya, paling tidak tau rupa dan bentuk hamburger ini. bagaimana tidak ? meskipun makanan ini bukan makanan asli indonesia, tapi di indonesia sudah cukup banyak yang menyediakan makanan ini, di layar televisi pun juga sering muncul iklan hamburger, di Indonesia yang cukup dikenal salah satunya adalah Mc D.
hambuger merupakan makanan cepat saji yang bahannya adalah berupa roti berbentuk bundar yang dibelas menjadi dua kemudian dibagian tengahnya diisi dengan daging dan sayuran misalnya tomat, selada, bawang bombay, hamburger juga dilengkapi dengan saus, beberapa jenis burger ada juga yang ditambahkan dengan asinan, keju, dan juga bahan pelengkap lain.
sejarah hamburger dan penemunya, berdasarkan kutipan dari wikipedia terdapat beberapa versi
sejarah hamburger
versi yang pertama, makanan hamburger ini dulu pada mulanya adalah makanan khas dari bangsa Tartar, makanan ini berupa daging cincang yang disantap tanpa dimasak atau dimakan mentah-mentah dan hanya diberi perasan jeruk. perlu anda ketahui, bangsa tartar adalah bangsa nomade yang sering melakukan perjalanan jauh dengan menunggang kuda, sering terjadi daging yang mereka bawa menjadi keras dan tidak layak untuk dimakan, kemudian mereka mencoba mengakalinya dengan meletakkan daging yang mereka bawah itu di bawah sadel kuda mereka. setelah melakukan perjalanan jauh ternyata daging itu masih dalam keadaan hangat dan tidak menjadi dingin, kemudian daging itu langsung saja dimakan tanpa dimasak dan hanya diberi dengan perasan jeruk nipis
seiring berjalanannya waktu, kemudian makanan yang terkenal lezat dari Asia Tengah ini dibawa oleh para pelaut Eropa pulang ke negaranya, tepatnya di kota Hamburg. masyarangkat di Hamburg pada umumnya mengganggap bahwa diri mereka adalah bangsa yang beradab, tentunya mereka menolak memakan daging yang mentah atau belum dimasak, maka daging khas Tartar tersebut mereka masak terlebih dahulu sebelum disantap dengan cara dibakar atau digoreng, ternyata masakan ini snagat disukai berbagai orang. tapi sampai saat ini sebagian orang tetap lebih menyenangi menyantapnya mentah-mentah. dari sinilah asal mula daging burger.
sejarah hamburger versi kedua, Menurut para penduduk hamburg, New York, sebuah kawasan yang dibei nama seperti kota Hamburg di Jerman, makanan ini ditemukan oleh dua bersaudara dari Ohio, Frank dan Charles Menches, menurut legenda, mereka merupakan penjaja makanan di pinggir jalan yang menjual sandwich, karena suatu hari mereka kehabisan sosis, maka mereka menggunakan daging sapi cincang sebagai pengganti sosis untuk isi dari sandwich mereka. Dan penggunaan daging sapi ini ternyata ditanggapi dengan baik oleh konsumen mereka.
sejarah hamburger versi ketiga, Menurut Komunitas Sejarah Seymour di Winconsin, mereka menyebutkan nama Charlie Nagreen sebagai pencipta hamburger. Nama Charlie Nagreen sekarang identik dipanggil “Hamburger Charlie”. Ia berjualan sandwich yang diisi dengan bakso saat ia berusia 15 tahun di Seymour Fair pada tahun 1885. Karena jualannya kurang sukses, ia menemukan sebabnya, karena pelanggan tidak dapat berjalan berkeliling sambil makan, maka ia memipihkan bakso yang dijualnya dan meletakkannya di antara irisan roti, ternyata hal ini sukses dan mampu menarik perhatian konsumen, karena hidangan Hamburg Steak amat populer saat itu, Charlie Nagreen pun memberi nama Hamburger pada penganan temuannya itu. Sejak itu ia selalu kembali tiap tahun ke Seymour Fair untuk berjualan hamburger, sampai saat kematiannya pada tahun 1951.
sejarah hamburger versi keempat, Menurut Kongres Perpustakaan Amerika dan Pemerintahan Connecticut, hamburger pertama dijual pada tahun 1895 oleh Louis Lassen di rumah makannya, Louise’s Lunch di New Haven, Connecticut, Majalah New York mengemukakan bahwa awalnya makanan ini tak diberi nama, hingga saat beberapa pelaut dari Hamburg singgah ke restoran itu dan menamai menu tersebut hamburger.
sejarah hamburger versi kelima, menurut seorang sejarahwan dari Texas, yaitu Frank.X.Tolbert menyatakan bahwa penemuan hamburger dilakukan oleh Fletcher Davis dari Athens, Texas. Ia percaya bahwa Davis mulai menjual hamburger di kiosnya di Athens sejak akhir tahun 1880an, dan memperkenalkan hamburger ke St.Louis Fair pada tahun 1904.
itulah sedikit wacana tentang sejarah hamburger, semoga bermanfaat bagi anda, khususnya bagi anda penggemar makanan hamburger, jadi tidak hanya suka makanannya, tapi juga tahu sejarahnya...
referensi, wikipedia.com